In life, we often get people who like to meddle with our life.
Asking questions, trying to dictate what they think is right, etc.
Most people would avoid difficult situation by answering a question with answers that other people want to hear.
I, personally, won't do that. I found that doing so is the same like lying and not showing the real me.
Let's say, when somebody (no matter who that person is, could be my friend, my mother in law, etc.) asks me:
"When do you plan to have another baby?"
Most people who do not plan to have another baby would answer: "Maybe later, or soon, or we're still planning it."
I would answer: "No, I don't want to have another baby."
Even though this answer will lead to another questions, and I will have to explain myself.
Then I will explain to them what I'm thinking, what I'm considering, everything that caused me to make this decision. They might not like it, they might not like me afterwards, but at least they get or see why I do what I do.
--->The short explanations why I don't wanna have another kid is because I am a responsible and unselfish parent.
1. We're not financially ready. We have to think about our kid's future, his education. I'm not talking 2-3 years from now, I'm talking about 16-20 years from now. School fees are increasing every year, can you imagine how much it will be 20 years from now?
Is the percentage of your salary raise as high as the school fee raise?
What happens if you can't pay for your kid university study? Will he have a good if not great future?
2. I'm not a dedicated housewife.
I love my son. I take care of him most of the time. I make sure he gets enough love and attention from me. But I also need time for myself. I also enjoy working.
And my husband, is also busy working. He's very helpful but he rarely has time to take care of his kid.
I don't wanna have another child but leaving him/her to the nanny. It would be irresponsible (Honestly, most people are irresponsible, they have many kids, but don't have time for them.) <----
So, people may not understand, people may not like me, people may not get my point of view. It's fine.
Coz I don't care. I don't care what you think. This is my life, where I get to decide what I wanna do.
I do not meddle with your life (like what most people do to me) so I'd really appreciate if you do the same.
You are welcome not to like me. But if I can open your mind, it'd be great.
Regards,
Liana.
Rabu, 14 Maret 2012
Selasa, 13 Maret 2012
Idiotic Driver
Often I meet irresponsible drivers on the road, mostly motorcyclist and public transportation drivers.
They ignore traffic signs, rude, never give others chance to pass, drive recklessly, and many more.
Sometimes I get into a situation where I want to turn left or right, and I already turn on my lights. But those people seem not to see the signs, and insist on passing my car, even though a collision might happen.
Other times, big cars or bus would try to intimidate me by going towards my car so I move and they can get in my way. What the f**k? Sorry Mister, not me, not I. So, often they fail to do that and I feel a bit of victory.
I know, what I did and what I felt were silly. But I can't help to feel a bit of satisfaction when I can "beat" those people. They endangered themselves and other road users, so, I do not wish them well.
But.... when we are the ones who drive, we always feel that we are the greatest and the smartest. Others are simply stupid or no brainer, aren't they?
Regards,
Liana
They ignore traffic signs, rude, never give others chance to pass, drive recklessly, and many more.
Sometimes I get into a situation where I want to turn left or right, and I already turn on my lights. But those people seem not to see the signs, and insist on passing my car, even though a collision might happen.
Other times, big cars or bus would try to intimidate me by going towards my car so I move and they can get in my way. What the f**k? Sorry Mister, not me, not I. So, often they fail to do that and I feel a bit of victory.
I know, what I did and what I felt were silly. But I can't help to feel a bit of satisfaction when I can "beat" those people. They endangered themselves and other road users, so, I do not wish them well.
But.... when we are the ones who drive, we always feel that we are the greatest and the smartest. Others are simply stupid or no brainer, aren't they?
Regards,
Liana
Normalkah Anak Saya?
Sebagai
orangtua, seringkali kita merasa kuatir dengan perkembangan buah hati kita.
Apalagi akhir-akhir ini sedang ngetren suatu kelainan psikis pada anak, yang
biasa disebut Autisme. Kenapa saya sebut ngetren? Karena berbagai macam media
menampilkan mengenai autisme. Karena bila orang melihat ada sesuatu yang
sedikit janggal pada si anak, langsung divonis “Autis kali.” Karena bahkan
untuk hal yang tidak berhubungan dengan autis, misalnya ada orang yang main BB
sampai lupa diri, pun dibilang autis.
Saking
ngetrennya, sampai-sampai seorang praktisi kesehatan dengan gampangnya memvonis
seorang anak autis. Sebut saja Ibu Dina, putranya Ari memang sedikit aktif,
rasa keingintahuannya tinggi. Suatu hari Ari batuk, maka dibawanya Ari ke dokter.
Begitu masuk ruang praktek, Ari langsung melihat-lihat, berjalan-jalan. Sang
dokterpun langsung berkata, “Anak ibu autis kali ya. Kok ngga bisa diam.”
Wah wah wah, saya sampai mengelus
dada. Mana boleh seorang praktisi kesehatan dengan sembarangan membuat komentar
seperti itu.
Berikut adalah
beberapa jenis kesulitan belajar (Learning Disabled) yang sering dikaitkan
dengan autisme. Perlu diingat, LD bukanlah autisme, anak yang memiliki
kesulitan belajar TIDAKLAH AUTIS.
1. Visual Perceptual Disability
Anak dengan kesulitan belajar tipe ini, melihat
huruf dan abjad dalam posisi yang berbeda. Mereka bingung antara kiri dan kanan
sehingga mereka melihat beberapa huruf secara terbalik. Misalnya, “d” menjadi
“b”, “p” menjadi “q” dan seterusnya. Kondisi ini biasa disebut dyslexia.
Kondisi lainnya, hyperlexia, ditemukan pada beberapa anak (kebanyakan
laki-laki) yang tampaknya dapat membaca sendiri pada usia 1,5 tahun sampai 2
tahun, tetapi tidak dapat mengerti apa yang mereka baca. Hyperlexia sering
diasosiasikan dengan autisme.
2.
Auditory
Perceptual Disability
Anak yang menderita APD, mempunyai kesulitan
membedakan suara sehingga apa yang mereka dengar, tidak sama dengan apa yang
disebutkan atau dikatakan oleh si pembicara. Mereka kesulitan membedakan
suara-suara dari berbagai sumber, sehingga mereka terlihat tidak pernah
memperhatikan orang berbicara.
3. Language Learning Disability
Anak yang menderita LLD mempunyai kesulitan
berkomunikasi secara oral, ada juga yang kesulitan mengerti apa yang dikatakan
atau dibicarakan kepada mereka. Mereka tidak dapat mengekspresikan pikiran dan
berbicara dengan mudah dan jelas. Suara mereka juga terdengar aneh.
4. Hyperactivity
Biasanya anak yang hiperaktif kesulitan mengontrol
otot-otot dan aktivitas motor mereka, sehingga mereka selalu bergerak.
Memang wajar
kalau sebagai orangtua kita merasa khawatir dengan perkembangan buah hati kita.
Terkadang kekhawatiran itu sedikit berlebihan. Jadi, apa yang harus anda
lakukan jika anda mencurigai sesuatu pada anak anda?
1. Jangan
pernah meminta pendapat dari teman, guru, ataupun dokter yang BUKAN ahlinya.
Pendapat-pendapat tersebut malah akan membuat anda bertambah bingung. Lagipula
mereka tidak berhak menilai apalagi memvonis seorang anak normal atau tidak.
2. Cari informasi yang jelas dan terpercaya
mengenai penyakit atau kelainan tersebut. Cari narasumber yang terpercaya.
3. Catat
ciri-ciri umum atau indikasi dari penyakit tersebut. Lalu perhatikan anak anda
dengan seksama, apakah ciri-ciri tersebut terdapat pada anak anda.
4. Bila
dirasa perlu, temuilah ahlinya. Misalnya, psikolog anak yang memang
berpengalaman menangani autisme atau kelainan psikis yang lain. Biasanya mereka
akan melakukan serangkaian tes dan mengamati anak anda, sehingga mereka dapat
membuat diagnosa yang tepat.
5. Setelah
mendapatkan informasi dan diagnosa yang tepat, barulah anda dapat berkonsultasi
dan memilih terapi serta metode penanganan yang tepat untuk anak anda.
Jangan
pernah memilih dan melakukan terapi sebelum anda mengetahui kondisi anak dengan
pasti, karena hal itu malah dapat memperburuk kondisi anak.
Semoga bermanfaat untuk semua.
Regards,
Liana
Hukuman Fisik, Bolehkah?
Sedari kecil kita tahu, apabila
kita melakukan kesalahan, maka kita akan mendapat hukuman. Zaman dahulu,
orangtua kita biasanya menghukum kita dengan hukuman fisik, seperti dipukul,
disabet dengan rotan, disetrap, dikurung di kamar mandi, dll. Karena ini cara
menghukum yang kita tahu, maka secara otomatis kita menghukum anak kita dengan
cara yang serupa.
Saya perhatikan, model hukuman
tempo dulu yang paling populer dan masih banyak dipakai sampai sekarang adalah
dikurung di gudang atau kamar mandi. Memang secara fisik tidak menyakiti si
anak, tetapi apakah anda pernah memikirkan dampaknya secara psikologis?? Saya
punya seorang teman yang phobia berada di ruangan sempit. Usut punya usut,
ternyata dulu ia sering dikurung di kamar mandi oleh orangtuanya. Apakah
penyakit psikis seperti ini yang ingin anda wariskan ke putera puteri anda?
Yang memprihatinkan, ternyata di
zaman yang sudah semaju dan secanggih ini, saya masih menjumpai sekolah-sekolah
yang mempraktekkan hukuman seperti ini.
Ada lagi tipe orangtua ataupun guru yang
ringan tangan, alias suka memukul, mencubit, menjewer dan sebagainya. Anak
berisik, dipukul. Anak bertengkar, dipukul. Anak tidak mau belajar, dicubit.
Saran saya, belilah saja sansak untuk latihan tinju, daripada anak yang menjadi
korban.
Pertanyaannya, apakah hukuman
fisik diperbolehkan? Sebenarnya sudah jelas kalau hukuman fisik itu tidak
diperbolehkan, walaupun saya kurang paham mengenai hukum, saya yakin ada
Undang-undangnya. Dulu saya pernah mengajar di sebuah sekolah di Surabaya, sekolah ini memakai guru-guru dari China dan
Amerika, sebut saja Ms.Lan dan Mr.Barry. Suatu hari, waktu jam istirahat, ada
murid yang bertengkar. Ms.Lin lalu memukul tangan si anak. Kebetulan Mr.Barry
melihat hal tersebut, ia sangat marah dan menegur Ms.Lin. Ia juga melapor ke
kepala sekolah, yang pasti ia kesal berat.
Mr.Barry adalah guru yang
disiplin, saat ia mengajar, ia mengharapkan murid-murid untuk mendengar dan
memperhatikan. Ia juga tidak segan member sangsi apabila ada yang melanggar
peraturan di kelas. Tetapi ia sangat sangat tidak menyetujui hukuman fisik.
Lalu, hukuman atau sangsi seperti
apa yang efektif dan membangun, tidak meninggalkan trauma atau berdampak
negative secara psikologis? Berikut tips-tips yang dapat anda praktekkan.
1.
Set up Rules
Pertama-tama,
anda harus membuat peraturan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Lalu sosialisasikan peraturan ini kepada anak / murid anda. Anda juga harus
memberitahukan sangsinya apabila si anak melanggar peraturan tersebut.
Mengapa ini
penting? Apabila si anak tidak tahu menahu kalau peraturan itu ada, maka
bukanlah kesalahan mereka apabila mereka melanggarnya. Umpamanya anda sedang
menyetir, lalu anda belok ke kiri. Tiba-tiba anda diberhentikan oleh seorang
polisi yang menyatakan kalau anda telah melanggar rambu-rambu lalu lintas,
karena sebenarnya anda tidak diperbolehkan belok kiri. Maukah anda ditilang
kalau tidak ada rambu-rambu yang menyatakan kalau anda tidak boleh belok kiri?
2.
Reasoning
Saat anak anda
membuat suatu kesalahan, anda harus menjelaskan kepada mereka, apa kesalahan
yang telah ia perbuat, mengapa ia tidak diperbolehkan melakukan hal tersebut,
dan sangsi yang akan anda berikan kepada mereka.
Apa gunanya
memberi hukuman kalau yang dihukum tidak tahu kesalahannya apa? Akhirnya si
anak hanya akan mengulang kesalahan yang sama, karena ia tidak tahu salahnya
dimana.
3.
Be fair.
Bila anak
melakukan kesalahan ringan, berilah sangsi yang ringan. Seorang kenalan saya
bercerita mengenai saudaranya, sebut saja Ibu Yanti. Ibu Yanti mempunyai
seorang putera berusia 3 tahun, bernama Iwan. Suat hari ibu Yanti memanggil
Iwan, “Iwan, Iwan, kesini.” Setelah dipanggil beberapa kali Iwan tidak
datang-datang. Ibu Yanti pun merasa kesal, ia lalu menghampiri Iwan yang sedang
asik bermain. “Kamu punya telinga tidak, dipanggil dari tadi tidak
datang-datang.” Lalu Ibu Yanti pun memukul Iwan dengan membabi buta, buk
gedebuk.
Menurut anda,
Iwan tahu tidak salahnya apa? Ia sedang asik bermain, tahu-tahu dimarahi dan
dipukuli. Lalu adilkah hukuman yang diberikan kepada Iwan?
4.
Be constructive.
Dalam memberikan
hukuman, pilihlah hukuman yang membangun dan tidak merugikan si anak baik
secara fisik maupun psikis.
Saya pernah
mengajar seorang murid, sebut saya Andre. Andre duduk di bangku TK. Suatu hari
ia mencoret dinding kelas dengan spidol. Melihat hal tersebut, saya
mengingatkannya untuk tidak mencoret dinding. Tetapi tak lama kemudian ia
mencoret-coret dinding lagi. Saya menghampirinya dan berbicara padanya, “Andre,
Miss kan
sudah bilang, jangan mencoret dinding. Kenapa kamu masih saja melakukannya? Kan dinding ini jadi
kotor.”
Andre hanya
terdiam. Sebagai hukuman, saya memberi Andre seember air dan kain lap. Saya
bilang padanya, kamu harus membersihkan dinding ini sampai coretan itu hilang.
Pertama-tama, Andre menolak melakukan hal tersebut. Lalu saya bilang apabila
dinding ini belum bersih, maka ia belum boleh pulang.
Akhirnya
Andrepun ”mencuci” dinding tersebut, sambil menangis tentunya. Walaupun dinding
itu tidak bisa bersih kembali, Andre sudah menyadari kesalahannya, dan ia tidak
berani mengulangi lagi.
Kesatu, hukuman
ini lebih efektif daripada membentak-bentak, berteriak-teriak ataupun memukul
si anak. Kedua, hukuman ini juga konstruktif, karena ia memperbaiki kesalahan
dan membangun karakter anak.
5.
Respect
Perlakukan anak
dengan hormat apabila anda juga ingin dihormati oleh anak anda. Bicaralah
dengan tegas, tidak usah berteriak-teriak, membentak, dan merepet.
Bandingkan:
a. “Anto,
diam kamu! Dari tadi bicara sendiri, Ibu menerangkan kamu tidak memperhatikan,
malah mengobrol sendiri. Itu tidak sopan kamu tahu ngga? Kamu tahu tidak kedua
orangtuamu susah payah cari uang untuk menyekolahkan kamu, kamu malah
main-main, tidak serius belajar. Keluar kamu dari kelas!”
b. “Anto,
kamu tahu tidak mengapa Ibu memanggil kamu? Karena kamu terus berbicara di
kelas dan tidak mau memperhatikan Ibu guru. Menurutmu itu salah tidak? Karena
itu, sepulang sekolah kamu harus mengerjakan tugas tambahan. Kamu boleh pulang
apabila tugas ini sudah selesai.”
Nah, enak kan? daripada anda mengomel atau berteriak tidak karuan.Semoga bermanfaat.
Regards,
Liana.
Makan atau Maraton?
Pernahkah anda melihat
pemandangan seorang ibu berlari-lari kecil mengejar anaknya sambil membawa
piring dan memanggil-manggil anak tersebut. Sepertinya kok tidak asing yah?
Seringkali saya melihat
pemandangan ini, baik di kompleks perumahan tempat saya tinggal ataupun di
sekolah ataupun tempat kursus. Ibu-ibu berkumpul di satu spot sambil mengobrol,
anak mereka berlarian kesana kemari, terkadang si anak kembali ke ibunya dan
disuapkan makanan, lalu si anak pergi lagi. Kalau si anak tidak kembali, maka
si ibupun berteriak memanggil anaknya, “Rudi, Rudi, ayo makan.” Atau si ibu
yang berlari mengejar anaknya dan menyuapkan makanan tersebut.
Sewaktu jaman saya kecil dulu,
saya dan saudara-saudara saya selalu dididik untuk makan di meja makan. Sewaktu
makan, kami tidak pernah berkeliaran atau bermain-main. Ibu dan nenek saya
selalu mengatakan, “Kalau makananmu belum habis, kamu tidak boleh bangun dari
kursi ini.” Jadi kalau saya ingin bermain, saya harus menghabiskan makanan
dahulu, dan waktu makan tidak boleh lari-lari.
Di sekolah-sekolah tempat saya
mengajar dahulu, sewaktu jam makan atau istirahat, murid-murid digiring menuju
kantin atau ruang makan. Disana mereka menghabiskan makanannya, setelah selesai
baru mereka bermain. Jadi tidak ada pemandangan murid makan sesuap lalu
berlarian kesana kemari.
Sebenarnya tidaklah sulit
menerapkan hal ini kepada putera-puteri anda, lagipula makan sambil
berjalan-jalan atau berlari kan
tidak baik untuk pencernaan mereka. Apalagi kalau memberi makan di depan rumah
atau di pinggir jalan, bayangkan asap, debu dan kotoran yang masuk ke makanan
si kecil.
Ada beberapa tips yang dapat anda lakukan
agar putera-puteri anda mau duduk manis saat makan:
1. Katakan dengan tegas kepada mereka, “Nak,
sekarang waktunya makan. Bukan waktunya main. Saat makan, kamu harus duduk.
Setelah kamu selesai makan, baru kamu boleh bermain.”
Saya yakin
awalnya akan sedikit sulit, si anak mungkin akan menangis atau menolak untuk
makan. Tetapi janganlah goyah, bila ia belum menyelesaikan makanannya, jangan
biarkan ia bangkit dari tempat duduknya.
2.
Jelaskan kepada mereka, kenapa tidak boleh makan
sambil berlari dan apa akibatnya.
3. Bila terpaksa, berilah iming-iming. “Nak, kamu
pingin kan
bermain bola. Kalau kamu pingin cepat main bola, kamu habiskan dulu makanannya.
Semakin lama kamu makan, semakin lama bisa main bolanya.”
4. Konsisten. Terapkanlah hal ini setiap jam makan.
Saya yakin dalam waktu yang tidak lama, anak anda akan terbiasa untuk makan di
tempat.
Ingatlah, jangan mudah menyerah
dan jangan terpancing untuk mengambil jalan keluar yang mudah. Jangan
menggunakan alasan anak tidak mau makan untuk membiarkan mereka berlari-larian.
Menerapkan disiplin kepada anak memang terlihat dan terasa sulit di awalnya,
tetapi begitu hal ini berjalan, maka anda dan si anak jugalah yang merasakan
hasilnya.
Regards,
Liana
Minggu, 04 Maret 2012
Impolite & Rude People
I often meet ignorant, rude, & impolite people during everyday events.
At first I found it amusing to watch those people, but in the end I just found them very annoying.
During Chinese New Year, people in Palembang will visit each others' houses, even though you're not blood related (colleagues, neighbours, friends). Some of the guests would be my husband's colleagues (which I barely know).
One of them asked me: how many children do you have?
I replied: just one.
Him: how old are you?
Me: almost 30.
Him: oh, you need to have at least one more child.
Me: No. I only want one. No more.
Then he started to talk about having kids, bla bla bla, or you'll be lonely later, bla bla bla.
Oh I was so tempted to argue him, this person is soooo impolite. How can you tell me what to do when I barely know you? Who are you?
But I tried to be polite, considering my husband.
But then, after a few minutes of him barging into my personal life, I argued him about having financial and emotional responsibilities when raising children. He finally shut his mouth.
Another similar case, a guy I met at a noodle hut, specifically told me to have a baby once a year (until I get 3 kids)
I also had friends (yes, we're not friends anymore) who were so annoying, the bossy type who'd tell you what to do, who'd think that they know best.
When my boy was 1 years old, I had a nanny. When I met this couple at the mall, and they saw that I had a nanny, they commented: Oh, this boy is a nanny's boy. Not mama's boy.
I replied: You only said that because you can't afford to hire a nanny.
They laughed awkwardly then.
However, in the end, trying to argue and talk sense to these people is only wasting my precious time. It's like playing music to deaf people or trying to talk sense to the morons.
So, I just need to think that they are poor, ignorant, unintelligent people. And say to myself:
When I shut my mouth and turn to walk away, it doesn't mean you've won.
It simply means your stupid ass isn't worth any more of my time.
Regards,
Liana
At first I found it amusing to watch those people, but in the end I just found them very annoying.
During Chinese New Year, people in Palembang will visit each others' houses, even though you're not blood related (colleagues, neighbours, friends). Some of the guests would be my husband's colleagues (which I barely know).
One of them asked me: how many children do you have?
I replied: just one.
Him: how old are you?
Me: almost 30.
Him: oh, you need to have at least one more child.
Me: No. I only want one. No more.
Then he started to talk about having kids, bla bla bla, or you'll be lonely later, bla bla bla.
Oh I was so tempted to argue him, this person is soooo impolite. How can you tell me what to do when I barely know you? Who are you?
But I tried to be polite, considering my husband.
But then, after a few minutes of him barging into my personal life, I argued him about having financial and emotional responsibilities when raising children. He finally shut his mouth.
Another similar case, a guy I met at a noodle hut, specifically told me to have a baby once a year (until I get 3 kids)
I also had friends (yes, we're not friends anymore) who were so annoying, the bossy type who'd tell you what to do, who'd think that they know best.
When my boy was 1 years old, I had a nanny. When I met this couple at the mall, and they saw that I had a nanny, they commented: Oh, this boy is a nanny's boy. Not mama's boy.
I replied: You only said that because you can't afford to hire a nanny.
They laughed awkwardly then.
However, in the end, trying to argue and talk sense to these people is only wasting my precious time. It's like playing music to deaf people or trying to talk sense to the morons.
So, I just need to think that they are poor, ignorant, unintelligent people. And say to myself:
When I shut my mouth and turn to walk away, it doesn't mean you've won.
It simply means your stupid ass isn't worth any more of my time.
Regards,
Liana
Langganan:
Postingan (Atom)