Labels

Selasa, 28 Februari 2012

Membantu Anak = Mensabotase Anak?




   Tulisan ini terinspirasi dari seorang teman saya. Sewaktu beliau bertemu dengan kawan lamanya, sebut saja Bapak Andi, Bapak Andi meminta tolong pada teman saya untuk menasehati puteranya, Anton. Anton akan masuk ke bangku kuliah, ia sudah didaftarkan di sebuah Universitas yang cukup ternama di Jakarta. Akan tetapi, Anton menolak untuk kuliah apabila ayahnya tidak membelikan mobil. Mobil yang dimintapun tidak tanggung-tanggung, Honda CRV. Si ayah berniat untuk membelikan Toyota Avanza, namun Anton menolak.

    Seringkali kita para orangtua dihadapkan oleh suatu dilema. Di satu sisi, sebagai orangtua, kita ingin memberikan yang terbaik untuk anak kita. Kalau bisa jangan sampai mereka kesusahan atau menderita. Di sisi lain, kita tahu memanjakan anak tidak baik untuk perkembangan mereka.

   Saya sendiri juga mengalami hal ini. Sewaktu putera saya berusia 5 bulan, ia mulai belajar untuk tengkurap. Dengan susah payah ia berusaha untuk membalikkan badan, sampai bersuara-suara, eeehh, nngggggg, tapi belum berhasil juga. Saya yang melihatnya merasa kasihan, lalu saya bantu dia untuk membalikkan badannya. Tetapi kemudian saya tersadar, ini adalah proses belajar anak saya. Inilah saat dia belajar untuk menggerakkan badan serta otot-ototnya, agar dapat membalikkan badan. Apabila saya terus membantunya, maka secara tidak langsung saya telah mensabotase proses belajarnya. Akhirnya ia malah tidak bisa apa-apa. 

Contoh kasus yang lain, ini terjadi pada saudara jauh saya. Mereka mempunyai 2 orang anak, lelaki dan perempuan. Yang lelaki sedang menempuh bangku kuliah di Australia. Yang perempuan, sebut saja Rini, masih kelas 3 SD. Kedua orangtuanya sangat memanjakan Rini. Semua keinginannya selalu dituruti. Semua orang harus mengalah pada Rini.
Suatu hari, Rini ikut dengan saudara-saudara yang lain berkunjung dan menginap di rumah saya. Orangtua Rini tidak ikut. Pada saat hendak mandi, Rini meminta saya untuk mengeramasi rambutnya. Saya berkata, “Lho, kamu kan sudah besar, masa tidak bisa keramas sendiri.” Rini menjawab, “Tidak bisa tante.” Saya yang terheran-heran bertanya kepadanya “Jadi selama ini kamu kalau keramas gimana?” Dengan entengnya Rini menjawab “Ya dikeramasin pembantu, atau papa mama.”

   Hari itu juga saya mengajari Rini untuk keramas sendiri. Dari proses membasahi rambut sampai membilas dan mengeringkan dengan handuk. Ini baru hal sepele, masih bisa diperbaiki. Tetapi bagaimana dengan sikap dan tingkah laku Rini? Sekarang ayah ibunya masih bisa meminta  orang lain untuk mengalah pada anaknya. Tetapi saat Rini dewasa? Saat ia memasuki bangku SMA, kuliah, atau di dunia kerja nantinya. Bukankah hal ini bisa mencelakakan dirinya?
   Coba anda bayangkan, kerusakan seperti apa yang bisa anda lakukan kepada putera-puteri anda jika anda tetap membantu  dan memanjakan mereka?

   Kita semua tahu, hidup ini tidaklah mudah. Apalagi di jaman sekarang, mau cari kerja sulit, mau usaha sendiri banyak saingannya. Jadi, apa yang bisa kita berikan pada putera-puteri kita, yang berguna untuk masa depan mereka? Harta bisa habis, tetapi ilmu, kemampuan untuk bertahan hidup, itu tidak akan habis.
Berikut tips-tips untuk
  1. Jangan Memanjakan Anak.
Yang saya maksud disini adalah memanjakan secara berlebihan. Seperti membelikan benda-benda mahal dan mewah, menturuti segala permintaan mereka, membiarkan mereka bertindak sesuka hati, dll.
  1. Bersikap Tegas.
Belajarlah berkata tidak. Belajarlah menegur tingkah laku anak yang kurang baik atau salah.
  1. Beri Pilihan.
Kembali ke kasus Bapak Andi dan puteranya Anton, Bapak Andi dapat memberikan pilihan kepada Anton. Misal, “Nak, ayah akan membelikan kamu mobil Avanza untuk mempermudah kamu pergi kuliah. Kalau kamu menginginkan mobil CRV, kamu bisa mencari kerja sambilan untuk tukar tambah membeli mobil yang kamu inginkan. Apabila kamu tetap menolak dan memilih untuk tidak kuliah, ayah tidak marah. Tetapi jika kamu tidak kuliah, maka ayah tidak akan memberikan uang saku sepeserpun. Jadi jika kamu memutuskan untuk tidak kuliah, kamu harus mencari kerja.”
  1. Arahkan Anak Anda.
Di saat anak anda mengalami kesulitan, misalnya ia sedang mengerjakan puzzle dan tidak dapat menyelesaikannya. Janganlah anda langsung mengambil alih dengan memberitahu jawabannya atau menyelesaikan untuk dia. Tetapi arahkan dia. “Nak, coba kamu lihat, kira-kira gambar yang mana, gambar A atau B, yang cocok untuk dipasangkan ke puzzle itu. Coba kamu tes dulu.”
  1. Ajak Anak untuk Berpikir Kreatif.
Dengan memberikan pilihan, seperti kasus Bapak Andi di atas. Secara tidak langsung kita memberi tantangan kepada Anton untuk berusaha mencari cara agar ia bisa mendapatkan keinginannya. Ia juga belajar bahwa mencari uang itu tidak mudah, dengan begitu ia dapat lebih menghargai orangtuanya.
Bisa juga anda mengajak anak untuk mencari solusi atas suatu masalah. Misalnya puteri anda bertengkar dengan temannya. Anda dapat bertanya, “Kira-kira kamu harus bagaimana supaya temanmu itu mau bermain dengan kamu lagi?” Anda akan terkejut mendengar jawaban mereka, kadang-kadang mereka dapat memikirkan hal-hal yang tidak terpikir oleh kita.

Senin, 27 Februari 2012

Tujuan Punya Anak

Setelah bicara dengan banyak parents tentang memiliki dan atau menambha anak,
rata-rata keputusan mereka untuk punya anak/menambah anak dikarenakan:

1. Takut tuanya kesepian.
2. Takut si anak ga ada teman.
3. Kalau gagal mendidik satu anak, masih ada satu, dua, atau tiga lagi.

Tidak ada parents yang mempertimbangkan:
1. Apakah mereka punya komitmen untuk mendidik anak dengan baik dan benar?
2. Apakah si ibu memang hobi dan berdedikasi untuk mengurus anak? (Karena biasanya banyak anak = banyak suster/pembantu)
3. Apakah yang akan mereka sediakan dan rencanakan untuk masa depan serta pendidikan si anak?

Jadi, sebenarnya apakah tujuan anda punya anak?

Punya anak sedikit atau banyak, tidak masalah, selama anda dan pasangan memang berdedikasi untuk membesarkan mereka, selama anda sudah merencanakan yang terbaik untuk masa depan anda dan anak.

Punya anak banyak tapi tidak punya waktu unntuk merawat dan bermain bersama mereka, bukanlah jaminan anak anda akan merawat saat anda tua nanti.


Regards,
Liana

Kasih Orangtua Tanpa Pamrih?

Familiar dengan lagu ini?

Kasih ibu, kepada beta, tak terhingga sepanjang masa.
Hanya memberi, TAK HARAP KEMBALI, bagai sang surya menyinari dunia..

Teorinya, kasih orangtua kepada anak itu ikhlas dan tak harap kembali.
Prakteknya, orangtua pada umumnya mengharapkan balasan.

Seperti: menuruti seluruh kata orangtua dari memilih jodoh, jurusan kuliah, pekerjaan, dll.
Merawat dan membiayai orangtua saat mereka tua nanti.

Sering sekali saya mendengar orangtua berkata: sudah susah-susah disekolahin, dibiayain, awas kalo besar nanti ngga membalas budi dan membiayai saya.

Ck ck ck, belum apa-apa saja, kita sudah mengharapkan balasan atas yang kita berikan ke anak.
Si anak belumlah sukses, kita sudah membebani mereka dengan segala kewajiban moral kepada kita.

Apakah itu cara yang benar? Saya tidak tahu.
Mungkin Ya, untuk sebagian besar orang. Bagi saya,s etiap anak punya jalan hidupnya sendiri, punya pilihan dan kesukaan sendiri.
Yang penting saat dia besar nanti, anak saya jadi orang yang berbudi dna berhati baik.
Saya tidak mengharapkan atau mengharuskan, saat tua nanti dia harus mengurus atau membiayai saya.

Tapi, bukankah kalau hubungan anda dengan anak anda sangat baik, secara otomatis mereka akan membalas budi anda?
Tanpa diminta-minta dan tanpa diancam-ancam.

Regards,
Liana