Labels

Rabu, 14 Maret 2012

You Are Welcome Not to Like Me

In life, we often get people who like to meddle with our life.
Asking questions, trying to dictate what they think is right, etc.

Most people would avoid difficult situation by answering a question with answers that other people want to hear.
I, personally, won't do that. I found that doing so is the same like lying and not showing the real me.

Let's say, when somebody (no matter who that person is, could be my friend, my mother in law, etc.) asks me:
"When do you plan to have another baby?"
Most people who do not plan to have another baby would answer: "Maybe later, or soon, or we're still planning it."
I would answer: "No, I don't want to have another baby."
Even though this answer will lead to another questions, and I will have to explain myself.

Then I will explain to them what I'm thinking, what I'm considering, everything that caused me to make this decision. They might not like it, they might not like me afterwards, but at least they get or see why I do what I do.

--->The short explanations why I don't wanna have another kid is because I am a responsible and unselfish parent.
1. We're not financially ready. We have to think about our kid's future, his education. I'm not talking 2-3 years from now, I'm talking about 16-20 years from now. School fees are increasing every year, can you imagine how much it will be 20 years from now?
Is the percentage of your salary raise as high as the school fee raise?
What happens if you can't pay for your kid university study? Will he have a good if not great future?

2. I'm not a dedicated housewife.
I love my son. I take care of him most of the time. I make sure he gets enough love and attention from me. But I also need time for myself. I also enjoy working.
And my husband, is also busy working. He's very helpful but he rarely has time to take care of his kid.
I don't wanna have another child but leaving him/her to the nanny. It would be irresponsible (Honestly, most people are irresponsible, they have many kids, but don't have time for them.)   <----

So, people may not understand, people may not like me, people may not get my point of view. It's fine.
Coz I don't care. I don't care what you think. This is my life, where I get to decide what I wanna do.
I do not meddle with your life (like what most people do to me) so I'd really appreciate if you do the same.

You are welcome not to like me. But if I can open your mind, it'd be great.

Regards,
Liana.

Selasa, 13 Maret 2012

Idiotic Driver

Often I meet irresponsible drivers on the road, mostly motorcyclist and public transportation drivers.
They ignore traffic signs, rude, never give others chance to pass, drive recklessly, and many more.

Sometimes I get into a situation where I want to turn left or right, and I already turn on my lights. But those people seem not to see the signs, and insist on passing my car, even though a collision might happen.

Other times, big cars or bus would try to intimidate me by going towards my car so I move and they can get in my way. What the f**k? Sorry Mister, not me, not I. So, often they fail to do that and I feel a bit of victory.

I know, what I did and what I felt were silly. But I can't help to feel a bit of satisfaction when I can "beat" those people. They endangered themselves and other road users, so, I do not wish them well.

But.... when we are the ones who drive, we always feel that we are the greatest and the smartest. Others are simply stupid or no brainer, aren't they?


Regards,
Liana

Normalkah Anak Saya?


Sebagai orangtua, seringkali kita merasa kuatir dengan perkembangan buah hati kita. Apalagi akhir-akhir ini sedang ngetren suatu kelainan psikis pada anak, yang biasa disebut Autisme. Kenapa saya sebut ngetren? Karena berbagai macam media menampilkan mengenai autisme. Karena bila orang melihat ada sesuatu yang sedikit janggal pada si anak, langsung divonis “Autis kali.” Karena bahkan untuk hal yang tidak berhubungan dengan autis, misalnya ada orang yang main BB sampai lupa diri, pun dibilang autis.


Saking ngetrennya, sampai-sampai seorang praktisi kesehatan dengan gampangnya memvonis seorang anak autis. Sebut saja Ibu Dina, putranya Ari memang sedikit aktif, rasa keingintahuannya tinggi. Suatu hari Ari batuk, maka dibawanya Ari ke dokter. Begitu masuk ruang praktek, Ari langsung melihat-lihat, berjalan-jalan. Sang dokterpun langsung berkata, “Anak ibu autis kali ya. Kok ngga bisa diam.”              
Wah wah wah, saya sampai mengelus dada. Mana boleh seorang praktisi kesehatan dengan sembarangan membuat komentar seperti itu. 


Berikut adalah beberapa jenis kesulitan belajar (Learning Disabled) yang sering dikaitkan dengan autisme. Perlu diingat, LD bukanlah autisme, anak yang memiliki kesulitan belajar TIDAKLAH AUTIS. 

1.     Visual Perceptual Disability
Anak dengan kesulitan belajar tipe ini, melihat huruf dan abjad dalam posisi yang berbeda. Mereka bingung antara kiri dan kanan sehingga mereka melihat beberapa huruf secara terbalik. Misalnya, “d” menjadi “b”, “p” menjadi “q” dan seterusnya. Kondisi ini biasa disebut dyslexia.
Kondisi lainnya, hyperlexia, ditemukan pada beberapa anak (kebanyakan laki-laki) yang tampaknya dapat membaca sendiri pada usia 1,5 tahun sampai 2 tahun, tetapi tidak dapat mengerti apa yang mereka baca. Hyperlexia sering diasosiasikan dengan autisme. 

2.     Auditory Perceptual Disability
Anak yang menderita APD, mempunyai kesulitan membedakan suara sehingga apa yang mereka dengar, tidak sama dengan apa yang disebutkan atau dikatakan oleh si pembicara. Mereka kesulitan membedakan suara-suara dari berbagai sumber, sehingga mereka terlihat tidak pernah memperhatikan orang berbicara.

3.     Language Learning Disability
Anak yang menderita LLD mempunyai kesulitan berkomunikasi secara oral, ada juga yang kesulitan mengerti apa yang dikatakan atau dibicarakan kepada mereka. Mereka tidak dapat mengekspresikan pikiran dan berbicara dengan mudah dan jelas. Suara mereka juga terdengar aneh.

4.     Hyperactivity
Biasanya anak yang hiperaktif kesulitan mengontrol otot-otot dan aktivitas motor mereka, sehingga mereka selalu bergerak.

Memang wajar kalau sebagai orangtua kita merasa khawatir dengan perkembangan buah hati kita. Terkadang kekhawatiran itu sedikit berlebihan. Jadi, apa yang harus anda lakukan jika anda mencurigai sesuatu pada anak anda?
1.       Jangan pernah meminta pendapat dari teman, guru, ataupun dokter yang BUKAN ahlinya. Pendapat-pendapat tersebut malah akan membuat anda bertambah bingung. Lagipula mereka tidak berhak menilai apalagi memvonis seorang anak normal atau tidak.
2.        Cari informasi yang jelas dan terpercaya mengenai penyakit atau kelainan tersebut. Cari narasumber yang terpercaya.
3.       Catat ciri-ciri umum atau indikasi dari penyakit tersebut. Lalu perhatikan anak anda dengan seksama, apakah ciri-ciri tersebut terdapat pada anak anda.
4.       Bila dirasa perlu, temuilah ahlinya. Misalnya, psikolog anak yang memang berpengalaman menangani autisme atau kelainan psikis yang lain. Biasanya mereka akan melakukan serangkaian tes dan mengamati anak anda, sehingga mereka dapat membuat diagnosa yang tepat.
5.       Setelah mendapatkan informasi dan diagnosa yang tepat, barulah anda dapat berkonsultasi dan memilih terapi serta metode penanganan yang tepat untuk anak anda.


Jangan pernah memilih dan melakukan terapi sebelum anda mengetahui kondisi anak dengan pasti, karena hal itu malah dapat memperburuk kondisi anak.
Semoga bermanfaat untuk semua.

Regards,
Liana

Hukuman Fisik, Bolehkah?


Sedari kecil kita tahu, apabila kita melakukan kesalahan, maka kita akan mendapat hukuman. Zaman dahulu, orangtua kita biasanya menghukum kita dengan hukuman fisik, seperti dipukul, disabet dengan rotan, disetrap, dikurung di kamar mandi, dll. Karena ini cara menghukum yang kita tahu, maka secara otomatis kita menghukum anak kita dengan cara yang serupa.

Saya perhatikan, model hukuman tempo dulu yang paling populer dan masih banyak dipakai sampai sekarang adalah dikurung di gudang atau kamar mandi. Memang secara fisik tidak menyakiti si anak, tetapi apakah anda pernah memikirkan dampaknya secara psikologis?? Saya punya seorang teman yang phobia berada di ruangan sempit. Usut punya usut, ternyata dulu ia sering dikurung di kamar mandi oleh orangtuanya. Apakah penyakit psikis seperti ini yang ingin anda wariskan ke putera puteri anda? 

Yang memprihatinkan, ternyata di zaman yang sudah semaju dan secanggih ini, saya masih menjumpai sekolah-sekolah yang mempraktekkan hukuman seperti ini. 
Ada lagi tipe orangtua ataupun guru yang ringan tangan, alias suka memukul, mencubit, menjewer dan sebagainya. Anak berisik, dipukul. Anak bertengkar, dipukul. Anak tidak mau belajar, dicubit. Saran saya, belilah saja sansak untuk latihan tinju, daripada anak yang menjadi korban.

Pertanyaannya, apakah hukuman fisik diperbolehkan? Sebenarnya sudah jelas kalau hukuman fisik itu tidak diperbolehkan, walaupun saya kurang paham mengenai hukum, saya yakin ada Undang-undangnya. Dulu saya pernah mengajar di sebuah sekolah di Surabaya, sekolah ini memakai guru-guru dari China dan Amerika, sebut saja Ms.Lan dan Mr.Barry. Suatu hari, waktu jam istirahat, ada murid yang bertengkar. Ms.Lin lalu memukul tangan si anak. Kebetulan Mr.Barry melihat hal tersebut, ia sangat marah dan menegur Ms.Lin. Ia juga melapor ke kepala sekolah, yang pasti ia kesal berat.

Mr.Barry adalah guru yang disiplin, saat ia mengajar, ia mengharapkan murid-murid untuk mendengar dan memperhatikan. Ia juga tidak segan member sangsi apabila ada yang melanggar peraturan di kelas. Tetapi ia sangat sangat tidak menyetujui hukuman fisik. 

Lalu, hukuman atau sangsi seperti apa yang efektif dan membangun, tidak meninggalkan trauma atau berdampak negative secara psikologis? Berikut tips-tips yang dapat anda praktekkan.

1.       Set up Rules
Pertama-tama, anda harus membuat peraturan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Lalu sosialisasikan peraturan ini kepada anak / murid anda. Anda juga harus memberitahukan sangsinya apabila si anak melanggar peraturan tersebut.
Mengapa ini penting? Apabila si anak tidak tahu menahu kalau peraturan itu ada, maka bukanlah kesalahan mereka apabila mereka melanggarnya. Umpamanya anda sedang menyetir, lalu anda belok ke kiri. Tiba-tiba anda diberhentikan oleh seorang polisi yang menyatakan kalau anda telah melanggar rambu-rambu lalu lintas, karena sebenarnya anda tidak diperbolehkan belok kiri. Maukah anda ditilang kalau tidak ada rambu-rambu yang menyatakan kalau anda tidak boleh belok kiri?

2.       Reasoning
Saat anak anda membuat suatu kesalahan, anda harus menjelaskan kepada mereka, apa kesalahan yang telah ia perbuat, mengapa ia tidak diperbolehkan melakukan hal tersebut, dan sangsi yang akan anda berikan kepada mereka.
Apa gunanya memberi hukuman kalau yang dihukum tidak tahu kesalahannya apa? Akhirnya si anak hanya akan mengulang kesalahan yang sama, karena ia tidak tahu salahnya dimana.

3.       Be fair.
Bila anak melakukan kesalahan ringan, berilah sangsi yang ringan. Seorang kenalan saya bercerita mengenai saudaranya, sebut saja Ibu Yanti. Ibu Yanti mempunyai seorang putera berusia 3 tahun, bernama Iwan. Suat hari ibu Yanti memanggil Iwan, “Iwan, Iwan, kesini.” Setelah dipanggil beberapa kali Iwan tidak datang-datang. Ibu Yanti pun merasa kesal, ia lalu menghampiri Iwan yang sedang asik bermain. “Kamu punya telinga tidak, dipanggil dari tadi tidak datang-datang.” Lalu Ibu Yanti pun memukul Iwan dengan membabi buta, buk gedebuk.
 Menurut anda, Iwan tahu tidak salahnya apa? Ia sedang asik bermain, tahu-tahu dimarahi dan dipukuli. Lalu adilkah hukuman yang diberikan kepada Iwan?

4.       Be constructive.
Dalam memberikan hukuman, pilihlah hukuman yang membangun dan tidak merugikan si anak baik secara fisik maupun psikis.
Saya pernah mengajar seorang murid, sebut saya Andre. Andre duduk di bangku TK. Suatu hari ia mencoret dinding kelas dengan spidol. Melihat hal tersebut, saya mengingatkannya untuk tidak mencoret dinding. Tetapi tak lama kemudian ia mencoret-coret dinding lagi. Saya menghampirinya dan berbicara padanya, “Andre, Miss kan sudah bilang, jangan mencoret dinding. Kenapa kamu masih saja melakukannya? Kan dinding ini jadi kotor.”
Andre hanya terdiam. Sebagai hukuman, saya memberi Andre seember air dan kain lap. Saya bilang padanya, kamu harus membersihkan dinding ini sampai coretan itu hilang. Pertama-tama, Andre menolak melakukan hal tersebut. Lalu saya bilang apabila dinding ini belum bersih, maka ia belum boleh pulang.
Akhirnya Andrepun ”mencuci” dinding tersebut, sambil menangis tentunya. Walaupun dinding itu tidak bisa bersih kembali, Andre sudah menyadari kesalahannya, dan ia tidak berani mengulangi lagi.
Kesatu, hukuman ini lebih efektif daripada membentak-bentak, berteriak-teriak ataupun memukul si anak. Kedua, hukuman ini juga konstruktif, karena ia memperbaiki kesalahan dan membangun karakter anak.

5.       Respect
Perlakukan anak dengan hormat apabila anda juga ingin dihormati oleh anak anda. Bicaralah dengan tegas, tidak usah berteriak-teriak, membentak, dan merepet.
Bandingkan:
a.       “Anto, diam kamu! Dari tadi bicara sendiri, Ibu menerangkan kamu tidak memperhatikan, malah mengobrol sendiri. Itu tidak sopan kamu tahu ngga? Kamu tahu tidak kedua orangtuamu susah payah cari uang untuk menyekolahkan kamu, kamu malah main-main, tidak serius belajar. Keluar kamu dari kelas!”

b.      “Anto, kamu tahu tidak mengapa Ibu memanggil kamu? Karena kamu terus berbicara di kelas dan tidak mau memperhatikan Ibu guru. Menurutmu itu salah tidak? Karena itu, sepulang sekolah kamu harus mengerjakan tugas tambahan. Kamu boleh pulang apabila tugas ini sudah selesai.”
Nah, enak kan? daripada anda mengomel atau berteriak tidak karuan.
Semoga bermanfaat.

Regards,
Liana.

Makan atau Maraton?


Pernahkah anda melihat pemandangan seorang ibu berlari-lari kecil mengejar anaknya sambil membawa piring dan memanggil-manggil anak tersebut. Sepertinya kok tidak asing yah? 

Seringkali saya melihat pemandangan ini, baik di kompleks perumahan tempat saya tinggal ataupun di sekolah ataupun tempat kursus. Ibu-ibu berkumpul di satu spot sambil mengobrol, anak mereka berlarian kesana kemari, terkadang si anak kembali ke ibunya dan disuapkan makanan, lalu si anak pergi lagi. Kalau si anak tidak kembali, maka si ibupun berteriak memanggil anaknya, “Rudi, Rudi, ayo makan.” Atau si ibu yang berlari mengejar anaknya dan menyuapkan makanan tersebut.

Sewaktu jaman saya kecil dulu, saya dan saudara-saudara saya selalu dididik untuk makan di meja makan. Sewaktu makan, kami tidak pernah berkeliaran atau bermain-main. Ibu dan nenek saya selalu mengatakan, “Kalau makananmu belum habis, kamu tidak boleh bangun dari kursi ini.” Jadi kalau saya ingin bermain, saya harus menghabiskan makanan dahulu, dan waktu makan tidak boleh lari-lari. 

Di sekolah-sekolah tempat saya mengajar dahulu, sewaktu jam makan atau istirahat, murid-murid digiring menuju kantin atau ruang makan. Disana mereka menghabiskan makanannya, setelah selesai baru mereka bermain. Jadi tidak ada pemandangan murid makan sesuap lalu berlarian kesana kemari. 

Sebenarnya tidaklah sulit menerapkan hal ini kepada putera-puteri anda, lagipula makan sambil berjalan-jalan atau berlari kan tidak baik untuk pencernaan mereka. Apalagi kalau memberi makan di depan rumah atau di pinggir jalan, bayangkan asap, debu dan kotoran yang masuk ke makanan si kecil.

Ada beberapa tips yang dapat anda lakukan agar putera-puteri anda mau duduk manis saat makan:
1.  Katakan dengan tegas kepada mereka, “Nak, sekarang waktunya makan. Bukan waktunya main. Saat makan, kamu harus duduk. Setelah kamu selesai makan, baru kamu boleh bermain.”
Saya yakin awalnya akan sedikit sulit, si anak mungkin akan menangis atau menolak untuk makan. Tetapi janganlah goyah, bila ia belum menyelesaikan makanannya, jangan biarkan ia bangkit dari tempat duduknya. 

2.       Jelaskan kepada mereka, kenapa tidak boleh makan sambil berlari dan apa akibatnya.

3.      Bila terpaksa, berilah iming-iming. “Nak, kamu pingin kan bermain bola. Kalau kamu pingin cepat main bola, kamu habiskan dulu makanannya. Semakin lama kamu makan, semakin lama bisa main bolanya.” 

4.      Konsisten. Terapkanlah hal ini setiap jam makan. Saya yakin dalam waktu yang tidak lama, anak anda akan terbiasa untuk makan di tempat.
Ingatlah, jangan mudah menyerah dan jangan terpancing untuk mengambil jalan keluar yang mudah. Jangan menggunakan alasan anak tidak mau makan untuk membiarkan mereka berlari-larian. Menerapkan disiplin kepada anak memang terlihat dan terasa sulit di awalnya, tetapi begitu hal ini berjalan, maka anda dan si anak jugalah yang merasakan hasilnya.


Regards,
Liana

Minggu, 04 Maret 2012

Impolite & Rude People

I often meet ignorant, rude, & impolite people during everyday events.
At first I found it amusing to watch those people, but in the end I just found them very annoying.

During Chinese New Year, people in Palembang will visit each others' houses, even though you're not blood related (colleagues, neighbours, friends). Some of the guests would be my husband's colleagues (which I barely know).
One of them asked me: how many children do you have?
I replied: just one.
Him: how old are you?
Me: almost 30.
Him: oh, you need to have at least one more child.
Me: No. I only want one. No more.

Then he started to talk about having kids, bla bla bla, or you'll be lonely later, bla bla bla.
Oh I was so tempted to argue him, this person is soooo impolite. How can you tell me what to do when I barely know you? Who are you?
But I tried to be polite, considering my husband.
But then, after a few minutes of him barging into my personal life, I argued him about having financial and emotional responsibilities when raising children. He finally shut his mouth.
Another similar case, a guy I met at a noodle hut, specifically told me to have a baby once a year (until I get 3 kids)

I also had friends (yes, we're not friends anymore) who were so annoying, the bossy type who'd tell you what to do, who'd think that they know best.
When my boy was 1 years old, I had a nanny. When I met this couple at the mall, and they saw that I had a nanny, they commented: Oh, this boy is a nanny's boy. Not mama's boy.
I replied: You only said that because you can't afford to hire a nanny.
They laughed awkwardly then.

However, in the end, trying to argue and talk sense to these people is only wasting my precious time. It's like playing music to deaf people or trying to talk sense to the morons.
So, I just need to think that they are poor, ignorant, unintelligent people. And say to myself:
When I shut my mouth and turn to walk away, it doesn't mean you've won.
It simply means your stupid ass isn't worth any more of my time.


Regards,

Liana